Celengan ayam itu kutimang-timang.
Terasa berat di tanganku. Mungkin sudah
ada beratus-ratus uang logam dan
lembaran ribuan di sana. Mungkin juga
sudah cukup untuk membeli playstation
impianku. Tapi ... kembali terngiang ucapan
ibu tadi siang.
"Yan, bagaimana menurutmu kalau
celengan ayammu tidak usah kamu
gunakan untuk membeli playstation?" ucap
ibu lirih.
"Lalu mau digunakan untuk apa, Bu?"
"Ibu mempunyai rencana untuk
memperluas kios kita dengan barangbarang
kebutuhan rumah tangga lainnya.
Kamu mengerti maksud ibu bukan, Yan?"
"Iya, Bu."
Ah seandainya saja ayah masih ada.
Tentu ibu tidak perlu bersusah payah
membuka kios seperti itu. Seandainya
saja ... .
Dengan pelan-pelan kuelus celengan
ayam itu. Ada rasa sayang untuk merelakan
satu-satunya benda yang kumiliki itu.
Celengan yang kumiliki sejak kelas VII
SMP. Setiap hari aku mengisinya dengan
uang saku yang diberikan ayah. Sedikit
demi sedikit. Hingga akhirnya menjadi
seberat ini. Haruskah kubuka celengan itu
untuk kuberikan pada ibu?
Sekelebat wajah ibu membayang di
pikiranku. Aku kasihan padanya. Sejak
ayah meninggal. Ibu terlihat semakin
bertambah tua, mungkin karena beban berat
yang harus ditanggungya. Kubulatkan
niatku untuk merelakan celengan ayam itu.
Untuk terakhir kali kuelus celengan itu.
Selamat tinggal playstation. Perlahan
kuangkat celengan itu dan kubanting ke
lantai. Pyaar ... . Celengan itu pecah
berkeping-keping. Uang logam dan
lembaran uang kertas berserakan di lantai.
Kupungut satu per satu untuk kuhitung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar