Jumat, 18 Januari 2013

Ketamakan An Li

Ketamakan An Li
Oleh Rikianarsyi A

Di sebuah kota, hiduplah seorang saudagar kaya namun tamak yang bernama
An Li. Suatu hari, saat An Li sedang berjalan-jalan, ia mendengar percakapan
dua penduduk desa.
"Menurut cerita, di dalam hutan itu, ada sebuah bukit sakti. Bukit itu bisa
melipat-gandakan kekayaan …"
An Li penasaran. Ia terus menguping sampai akhirnya ia tahu di mana letak
bukit yang dibicarakan kedua orang itu.
Tanpa membuang waktu, An Li segera pergi ke bukit sakti itu. Ia pergi ke
hutan yang terletak di tepi kota itu. Belum lama ia masuk ke hutan itu, tiba-tiba
muncullah seorang pertapa tua di hadapan An Li.
"Pertapa tua, betulkah ada bukit sakti di dalam hutan ini?" tanya An Li.
Pertapa itu langsung menjelaskan. "Bukit itu akan segera kau temukan begitu
aku pergi. Dakilah bukit itu. Di sana terdapat empat tangkai mawar biru. Kau
hanya boleh memetik satu tangkai.
Jangan berbalik ke mawar yang sudah kau lewati! Ingatlah pesanku. Keserakahan
akan menghancurkanmu. Menyesal tak ada gunanya," lanjutnya lalu menghilang.
Pada saat itu juga, muncul sebuah bukit hijau di hadapan An Li. Saudagar
itu agak takut. Namun, ia mengikuti petunjuk pertapa tua tadi.
Setelah An Li mendaki, ia menemukan setangkai mawar biru yang tumbuh
di tanah. An Li segera mendekat. Saat jemari An Li menyentuh helai mahkota
mawar tersebut, muncullah peri kecil. Sambil tersenyum sang Peri berkata
lembut,"An Li, bila kau memetik mawar ini, maka hartamu akan berlipat lima
kali. Kau akan menjadi orang terkaya di kotamu."
"Ah, tanpa memetik kau pun, aku sudah menjadi orang terkaya di kotaku, "
An Li pun meninggalkan mawar pertama.
Beberapa saat kemudian, An Li menemukan mawar kedua.
"Mawar kedua ini akan membuatmu menjadi orang terkaya di seluruh negeri,
An Li," Ucap peri penjaga mawar itu.
"Huh, tanpa mawar ini pun sebentar lagi aku pasti bisa melebihi kekayaan Kaisar
Chen," jawab An Li sombong lalu melanjutkan perjalanannya.
Lalu sampailah An Li pada mawar ketiga. Muncul peri yang berkata, "Petiklah
mawar ketiga ini, An Li. Kau akan menjadi orang terkaya di pulau."
"Mawar pertama membuatku menjadi orang terkaya di kota. Mawar kedua
membuatku menjadi orang terkaya di negeri. Mawar ketiga ini membuatku menjadi
orang terkaya di pulau. Hahaha berarti mawar keempat akan membuatku menjadi
orang terkaya di dunia!" ucap An Li penuh ketamakan.
Ia lalu bertekad menemukan mawar keempat. An Li berlari penuh semangat
mencari mawar keempat.
Setelah mendaki cukup lama, barulah mawar keempat terlihat. An Li segera
mendekat. Dengan penuh ketamakan, tangan An Li mencabut mawar itu hingga ke
akar-akarnya.
Anehnya, pada saat tangannya menggenggam mawar tersebut. Warna biru mawar
itu langsung berubah menjadi hitam. Bersamaan dengan itu, muncul peri penjaga
mawar keempat. Wajahnya sangat mengerikan.
"Ingatlah An Li, ketamakan dan rasa tidak puas hanya akan menghancurkanmu!
Dengan memetik mawar ini, terlihat betapa tamaknya engkau! Tahukah kau apa yang
akan mawar ini berikan untukmu jika kau memetiknya?" tanya sang peri penuh
kemarahan.
"Aku akan menjadi orang terkaya di dunia kan?" tanya An Li gugup.
"Tidak akan! Mawar keempat yang telanjur kau petik itu akan membuatmu
menjadi orang paling miskin di dunia. Hartamu akan habis! Terimalah akibat dari
ketamakanmu, An Li!" seru sang Peri.
Ucapan tersebut seketika membuat An Li berada di kotanya sendiri.
"Malangnya nasib Tuan An Li. Baru tadi pagi kudengar empat kapal dagangnya
tenggelam. Kini rumah dan hartanya terbakar habis. Bahkan kereta kudanya juga
dirampok tadi siang!" sayup-sayup An Li mendengar persakapan sekelompok penduduk
kota.
"Hei, lihat! Pengemis itu mirip sekali dengan Tuan An Li!" seru seorang anak
kecil kepada temannya, saat ia melihat An Li.
An Li langsung melihat dirinya sendiri. Benar saja. Baju yang kini ia pakai sudah
compang-camping. An Li terjatuh lemas. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya saat ini.
Andai saja mawar pertama, kedua, dan ketiga membuatnya puas. Andai saja ia tidak
mendengarkan percakapan tentang harta yang bisa dilipatgandakan… Andai saja ia
tak tamak.
Memang benar apa yang dikatakan sang Pertapa Tua. Tak ada gunanya menyesal.
Semua ini terjadi karena ia tak pernah puas dan bersyukur atas apa yang ia miliki.
Sumber: Bobo, 22 Februari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar