Botak
Oleh Aning Panca A
Hari ini vila megah itu dibersihkan. Sudah lama tidak ada penghuninya.
Ayahku bertugas mengurusi vila itu. Kata Ayah, villa itu milik seorang pengusaha
kaya di Jakarta. Minggu depan anak bungsu pemilik vila itu akan tinggal di
sana untuk beberapa saat. Itu sebabnya vila itu harus dibersihkan.
Sore ini ibu memintaku untuk membantu membawa barang-barang dari
warung. Setelah sampai rumah, kuletakkan barang bawaan ibu di dapur. Aku
pun segera mandi sebab aku ingin ikut ayah pergi ke kota. Ada beberapa barang
yang harus dibeli.
"Ayah, siapa nama anak pemilik vila itu?" tanyaku sepulang dari kota.
"Namanya Non Bunga. Dia nanti ditemani kakeknya," jelas Ayah. "Kalau
tidak salah, Non Bunga itu sebaya kamu," kata Ayah lagi.
"Jadi, sekarang dia kelas VII SMP juga?" tanyaku lagi. Ayah mengangguk.
Sabtu siang. Penghuni baru vila itu telah datang. Suasana di vila yang sunyi
itu tiba-tiba menjadi agak ramai. Namun, aku belum melihat anak perempuan
yang bernama Bunga.
"Wah, mobil itu mewah sekali," kataku sambil melihat-lihat ke dalam mobil.
"Kapan ya bisa naik mobil seperti ini?" seruku.
Karena terlalu asyik mengamati mobil itu, aku tidak tahu kalau ada mata
yang melihat aku dari tadi. Seorang kakek bermata ramah.
"Sekarang juga bisa. Kakek bisa mengantarmu jalan-jalan nanti sore. Kamu
Budi, kan?" tanya Kakek itu. Senyumnya ramah juga.
"Dari mana Kakek tahu?"
"Kakek kenal bapakmu sejak hari pertama dia bekerja di vila ini. Waktu itu
kamu masih kecil, lincah sekali. Kakek sampai kewalahan menggendongmu."
"Wah, berarti…berarti Kakek ini kakeknya Bunga ya?" tanyaku gembira.
"Benar. Kakek akan tinggal di sini menemani Bunga. Ayah Bunga sibuk
dengan urusan kantornya, jadi tidak bisa menemani Bunga di sini," jelasnya.
"Katanya Bunga sakit ya, Kek?" tanyaku penasaran.
"Iya. Sejak kecil Bunga memang sering jatuh sakit. Ia jarang bertemu orang.
Akibatnya, Bunga tidak punya banyak teman."
"Saya mau jadi temannya."
"Ayo, kenalan dengan Bunga sekarang," ajak Kakek bersemangat.
Aku dan Kakek lalu masuk ke ruangan tengah vila. Di situ tampak seorang
anak dengan kepala plontos. Ia duduk di atas koper memunggungi kami. Tak
mungkin itu Bunga, pikirku, sebab Bunga anak perempuan, bukan laki-laki. Tidak
mungkin anak botak itu Bunga!
"Bunga….ada teman yang mau kenalan denganmu sayang," Kakek
memegang bahu anak botak itu. Astaga, ternyata dia memang Bunga!
"Waaah… botak!" celetukku tiba-tiba. Aku sendiri kaget dengan katakataku.
Seketika itu muka Bunga merah padam. Kakek juga kaget. Mata Bunga
berkaca-kaca. Boneka yang didekapnya dilempar ke arahku. Kena ke mukaku.
Aku hanya bisa berlari keluar ruangan. Malu sekali rasanya. Tak kusangka
aku telah berbuat yang tidak sopan. Bagaimana kalau kakek Bunga marah
padaku? Kalau Ayah dipecat gara-gara aku? Aku terus berlari.
Lalu sebuah tangan memegang bahuku dari belakang. Ternyata kakek
Bunga. Aku tidak mau dianggap anak yang tidak sopan. Aku segera minta maaf.
"Maafkan Budi, Kek! Budi tidak bermaksud untuk tidak sopan. Tadi betulbetul
tidak sengaja."
"Tenang saja…" kata Kakek. "Kakek tahu kamu tidak punya niat seperti
itu. Tapi bagaimanapun kamu harus minta maaf pada Bunga. Kamu sudah
menyinggung perasaannya."
"Saya akan minta maaf, Kek" kataku "Tapi, apa Bunga akan memaafkan
saya?
Saya khawatir dia tidak akan memaafkan saya,Kek."
"Kalau belum dicoba, kamu tidak bisa bilang seperti itu."
Tiba-tiba aku mendapat ide. Menurutku, Bunga akan memaafkan aku jika
aku melakukan suatu hal. Menurut Kakek, ideku itu bagus. Jadi, aku harus minta
izin orang tua.
Aku pun bergegas lari pulang. Kuceritakan ideku pada ibu. Menurut
ibu aku harus bertanggung jawab atas semua perbuatanku. Ibu mengizinkan
aku melaksanakan ideku.
Kakek lalu mengantarku ke kota. Aku dan Kakek baru tiba di vila
pada sore hari. Aku segera menemui Bunga.
"Bunga… aku mau minta maaf atas kejadian tadi siang, " kataku sambil
tertunduk. Aku bisa merasakan Bunga menatapku tajam. "Karena itu…
sebagai tanda permintaan maafku yang tulus… aku membotaki kepalaku…"
kataku sambil melepas topi. "Maafkan aku yaaa…" kataku memelas.
Tiba-tiba Bunga tertawa lepas sambil berkata, "Hahaha… lucu, kamu
lucu sekali…"
Aku lega. Ternyata Bunga memaafkan aku.
"Aku minta maaf ya, tadi melempar kamu dengan boneka," katanya sambil
mengulurkan tangan.
Sejak saat itu, kami bersahabat. Teman-teman sekelas sering bermain
bersama kami di vila Bunga. Kami pun membentuk kelompok yang disebut
"B" yang berarti Botak. Walaupun yang botak hanya aku dan Bunga.
Sumber: Bobo No. 46/XXXIV, 22 Februari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar