Si Pahit Lidah
(Cerita Rakyat dari Lampung)
Pada zaman dahulu, ada seorang anak
muda bernama Pagar Bumi yang mempunyai
saudara enam. Keenam saudaranya tadi
mengembara jauh sekali, sehingga tidak tahu
di mana mereka berada.
Pada suatu hari, Pagar Bumi bertemu
dengan ahli peramal kerajaan, lalu dia diramalnya
bahwa kelak Pagar Bumi akan menjadi
tokoh sakti, tetapi kesaktiannya itu bisa
membahayakan kerajaan. Setelah diramal
demikian itu, lalu Pagar Bumi bersama ibunya
dipanggil ke istana perlu menghadap sang
Raja. Di hadapan Raja, Pagar Bumi mendapat
perintah bahwa dia secepatnya meninggalkan
kerajaan Jawa dan harus diasingkan ke Pulau
Sumatra. Mendengar perintah raja ini, ibunya
menangis tersedu-sedu. Saat itu juga Pagar
Bumi meninggalkan kampungnya dan dia
berjalan ke arah barat dalam jangka waktu
beberapa hari.
Dalam perjalanan yang memakan waktu
berhari-hari, maka tibalah dia di suatu kampung
yang termasuk wilayah kerajaan yang
diperintah seorang ratu wanita sakti yang
memiliki ilmu gaib. Di kampung itu dia berkenalan
dengan seorang pemuda. Mereka telah
mendengar berita bahwa sang Ratu membuka
peluang siapa saja yang berkenan belajar
ilmu kesaktian kepadanya. Kemudian kedua
pemuda itu pergi ke tempat sang Ratu perlu
menimba ilmu kesaktian.
Setiba di kerajaan, yang mendapat
giliran pertama untuk belajar ilmu sakti yaitu
teman Pagar Bumi. Dia terpaksa menunggu
di pendopo ruang tunggu. Dia menunggu
lama sekali, hingga sampai terlelap tidur.
Temannya sudah selesai belajar, tetapi dia
masih tidur juga, sementara namanya sudah
berulang kali dipanggil untuk menghadap sang
Ratu, tetapi masih tidur. Anehnya, temannya
tadi tidak mau membangunkan Pagar Bumi,
tetapi dia langsung pulang.
Berhubung namanya dipanggil berulang
kali untuk menghadap sang Ratu, akhirnya
Pagar Bumi dibangunkan oleh para pengawal
Ratu itu, tetapi hasilnya tetap sia-sia. Kemudian
sang Ratu kembali ke ruang dalam.
Setelah itu, Sang Ratu keluar sambil membawa
air putih yang telah diberi mantra dan
reramuan, lalu dituangkan sang Ratu ke dalam
mulut Pagar Bumi. Lalu Pagar Bumi bangun
dari tidurnya dan dalam keadaan sadar.
Dia sangat tercengang di kala berada di
hadapan sang Ratu dan para hulubalang yang
kejam-kejam itu. Dia bertanya tentang
keberadaan temannya. Para pengawal lain
menjelaskan bahwa kamu tadi tertidur lelap
sampai berulang-ulang dibangunkan tetapi
masih tidur terus. Mendengarkan penjelasan
ini, Pagar Bumi merasa malu sehingga dia
segera mohon izin pulang, karena niatnya
telah lupa untuk berguru kepada sang Ratu
tersebut.
Sang Ratu berkata kepada para pengawalnya,
“Sekalipun dia tidak sempat
belajar ilmu dalam tempo waktu empat
puluh hari, maka dia akan mendapatkan ilmu
kesaktian melalui lidahnya, karena telah saya
beri ramuan berisi mantra gaib ke dalam
mulutnya.”
Karena itulah, Pagar Bumi dikenal
sebagai si Pahit Lidah.
...
Pada suatu hari si Pahit Lidah pergi
menuju Ulu menjelajahi Sungai Ogan. Dia
mendekati tepi bebatuan yang tampak sebagai
tempat pemandian. Dari tempat ini terdengar
bunyi gendang ditabuh bertalu-talu, ramai
sekali sorak-sorai. Laki-laki dan perempuan
penuh tawa. Suara ramai itu terdengar dari
kejauhan. Si Pahit Lidah berusaha mendekati.
Ternyata dari kejauhan sudah tampak sepasang
penganten diarak dengan menggunakan
payung kebesaran. Penganten itu hendak
melakukan mandi pencuci diri. Mempelai
putra yaitu anak raja yang baru saja menikahi
gadis cantik jelita.
Mulai dari kejauhan, si Pahit Lidah
sudah bertanya, “Ada pesta apa sekarang?”
Mereka tak ada yang menjawab sama sekali.
Di antara mereka tak ada yang mendengar,
sebab ramainya bersorak- sorai dan gendang
bertalu-talu. Hingga si Pahit Lidah marah
sekali sambil berucap, “Kemungkinan mereka
semua itu adalah batu, ditanya kok diam
saja.” Ternyata keramaian berhenti total, serta
semua orang menjadi batu. Kali ini sihir si
Pahit Lidah berhasil kembali. Tempat ini
sampai sekarang dinamakan Batu Raja.
Kini si Pahit Lidah terus mengembara.
Setiap tiba di daerah yang dilalui, penduduk
setempat merasa takut, karena setiap bertemu
dengan orang lain, si Pahit Lidah menyihirnya
menjadi batu. Orang berusaha menjauhi si
Pahit Lidah, karena takut disihir menjadi batu.
Lama-kelamaan dia dijauhi orang-orang,
sehingga dia hidup hanya sebatang kara. Setiap
daerah yang dilalui si Pahit Lidah, masyarakat
setempat berupaya untuk membunuhnya dan
mengalahkan kesaktian yang dimilikinya.
Pada suatu hari penduduk Komering
hilir minta bantuan orang sakti bernama Puyung
Suan. Dia memberi saran kepada penduduk
setempat agar memberikan potongan
jala-jala di pintu masuk jalan kampung.
Potongan jala itu dibakar dan abunya melekat
pada tempat itu. Setiba di daerah Komering
Tengah, si Pahit Lidah melihat jala-jala yang
terdapat pada tiang-tiang bambu. Si Pahit
Lidah sudah menduga bahwa daerah ini
memiliki kesaktian yang tinggi, karena jala
pun bisa mereka renda dari abu. Maka, dia
membatalkan memasuki daerah itu.
Kini Si Pahit Lidah posisinya dalam
keadaan tidak menentu, hingga pada suatu
ketika dia sampai di Kerajaan Tanjung
Menang. Rajanya bernama Nurullah atau
Empat Mata. Si Pahit Lidah melewati kebun
jeruk milik raja. Penjaga kebun jeruk itu
terdiri dari tiga puluh tentara. Dalam keadaan
haus, si Pahit Lidah minta satu jeruk, tetapi
penjaga tak berani untuk memberinya, karena
takut dimarahi raja. Si Pahit Lidah berkata,
“Ah, sangat kikir sekali, buah jeruk pahit
begitu tidak boleh diminta.” Ternyata keesokan
harinya, jeruk yang ada dalam kebun
itu rasanya pahit semua. Padahal, biasanya
jeruk itu rasanya manis dan enak. Kemudian
penjaga kebun itu menceritakan kejadian
yang telah dialami. Raja segera memerintahkan
bala tentaranya untuk mencari si Pahit
Lidah yang telah menyihir kebunnya tadi.
Akhirnya si Pahit Lidah berhasil ditangkap
dan dibawa ke hadapan raja. Pada
mulanya dia hendak dihukum, tetapi sang raja
justru dirangkul si Pahit Lidah, karena ternyata
dia adalah kakaknya sendiri. Kedua-duanya
saling berangkulan, karena sudah lama sekali
tidak bertemu. Muka si Pahit Lidah sangat
ceria sekali. Mulai saat itu dia diterima
sebagai anggota kerajaan, serta diberi jabatan
sebagai panglima kerajaan.
Dalam kerajaan ini, si Pahit Lidah dinikahkan
dengan gadis cantik jelita, namanya
Dayang Merindu. Mereka hidup bahagia
dalam anggota kerajaan. Dalam perkawinannya,
dia dikaruniai seorang anak lakilaki.
Maka hidupnya bertambah bahagia.
Dengan kedamaian serta kemakmuran
negeri Tanjung Menang, kini menimbulkan
kecemburuan sosial bagi negeri-negeri lain,
utamanya kerajaan tetangga sendiri. Mereka
selalu mengganggu keamanan. Karena kerajaan
yang makmur itu kini terganggu, maka
bermusyawarahlah orang-orang kerajaan dan
di antara usul si Pahit Lidah yaitu membendung
alur Sungai Sugian. Usulan itu disetujui
dan diserahkan sepenuhnya untuk membendung
sungai besar itu kepada si Pahit Lidah.
Semua kekuatan dikerahkan. Akhirnya sungai
besar itu hampir selesai dibendung dalam
jangka waktu cepat. Aliran sungai berhenti
total. Padahal, aliran sungai itu menjadi lalu
lintas air yang bisa menghubungkan dari
berbagai negeri untuk berniaga. Akibatnya perdagangan
menurun drastis, bahkan sampai
berhenti, tak ada kegiatan perdagangan lagi.
Kerajaan Tanjung Menang tidak terbuka untuk
dunia luar.
....
Si Pahit Lidah sudah mengira bahwa
dengan kesaktian yang dimilikinya itu, maka
dia layak sebagai raja daripada saudarasaudaranya.
Ambisinya itu disampaikan
terang-terangan kepada saudara-saudaranya.
Keinginan itu terhalang dan ditolak keras,
sehingga terjadi perdebatan yang seru.
Berulangkali bermusyawarah, tetapi gagal
tidak menemukan jalan keluar. Terakhir
diadakan adu kesaktian antara kakak dan adik.
Tempat adu kesaktian itu di luar kerajaan,
yaitu di bawah pohon enau.
Pada hari yang telah ditentukan, ketujuh
saudara itu berkumpul di bawah pohon enau
yang pohonnya besar dan menjulang tinggi.
Dalam adu sakti ini, siapa yang menang akan
berhak menjadi Raja Tanjung Menang. Adu
kesaktian dimulai. Yang mendapat giliran
untuk diuji saktinya, yaitu si Empat Mata.
Sementara si Pahit Lidah memanjat pohon
yang tinggi itu sambil menjatuhkan tandanan
dan buah itu ke bawah tanah. Si Empat Mata
berbaring di bawah pohon itu dengan dihujani
tandanan buah enau. Dia siap menerima
jatuhnya tandan-tandan enau ke punggungnya.
Kelima saudaranya sebagai saksi adu
kesaktian ini merasa takut serta berharap agar
si Empat Mata benar-benar selamat.
Si Pahit Lidah terus-menerus menghujani
tandanan-tandanan besar, agar mengenai
punggungnya si Empat Mata. Bahkan sampai
sepuluh kali dijatuhkan tandanan tersebut,
tapi satu pun tak ada yang mengenai Empat
Mata. Itulah kesaktian dan kelebihan Empat
Mata yang mampu mengecoh pandangan si
Pahit Lidah.
Si Pahit Lidah turun dari pohon enau
yang tinggi itu. Kini dia mendapat giliran
berbaring di bawah pohon enau itu. Si Empat
Mata naik ke pohon enau dan menjatuhkan
tandan-tandan enau. Memang disengaja si
Empat Mata menjatuhkan tandanan itu tidak
ke arah punggungnya si Pahit Lidah, tetapi
meleset jauh, sehingga dia tersenyumsenyum.
Kemudian berikutnya mengenai
punggungnya. Dia mengeluh kesakitan, tetapi
masih berusaha menahan rasa sakitnya itu.
Untuk berikutnya, si Empat Mata terus
menghujani tandan-tandan besar yang banyak
buahnya hingga kelima kalinya dia tak
berdaya sampai kejatuhan keenam kalinya dia
sekarat akhirnya mati.
Si Empat Mata akhirnya turun dari pohon
enau yang tinggi itu. Saudaranya semua
mengerumuni si Pahit Lidah yang sudah
meninggal dunia. Apa pun yang terjadi, dia
benar-benar telah kehilangan saudaranya.
Mereka merangkul jasad saudaranya itu.
Sementara si Empat Mata membalikkan posisi
adiknya seraya berkata, “Dia mendapat
julukan si Pahit Lidah. Untuk itu aku akan
mencoba, apakah lidahnya benar-benar
pahit?” Si Empat Mata lain mencobanya
dengan menjulurkan lidahnya untuk
mencicipi lidah adiknya yang sudah mati.
Dengan mencicipi lidah adiknya tersebut
merupakan kesalahan yang sangat fatal bagi
si Empat Mata, karena lidah adiknya di
samping pahit rasanya juga mengandung
racun serta kesaktian luar biasa. Setelah
menjilat lidah adiknya, si Empat Mata langsung
pingsan dan akhirnya meninggal dunia.
(Sumber: Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar